A.Definisi Iman
Iman yaitu apa yang ditetapkan dengn hati
dan dibenarkan dengan perbuatan. Suatu golongan yang mengaku beriman tetapi
tidak mengamalkannya maka mereka berarti berdusta dan Allah akan
mengenyampingkan mereka.
Adapun secara terminologi, maka iman adalah:
- Pengucapan dengan lisan,
- keyakinan dengan hati,
- pengamalan dengan anggota tubuh,
- bertambah dengan melaksanaan ketaatan dan
- berkurang dengan melaksanakan kemaksiatan.
Berikut penjelasan ringkas dari lima perkara di atas:
1. Pengucapan
lisan.
Seseorang
dikatakan tidak beriman terhadap sesuatu sampai dia mengucapkan dengan
lisannya apa yang dia imani tersebut. Karenanya barangsiapa yang mengimani
sesuatu dengan hatinya akan tetapi dia tidak mengucapkannya maka dia tidaklah
dihukumi beriman kepadanya, selama dia sanggup untuk mengucapkannya dengan
lisannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka betul-betul demi Rabbmu,
mereka tidak beriman sampai menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai pemutus
perkara pada semua perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka
tidak mendapati di dalam diri-diri mereka adanya perasaan berat untuk menerima
keputusanmu dan mereka berserah dengan sepenuh penyerahan diri.” (QS.An-Nisa`: 65)
Maka dalam ayat ini Allah meniadakan keimanan dari seseorang sampai mereka
menerima dengan sepenuh hati keputusan Rasulullah lalu melaksanakan keputusan
tersebut dengan lisan atau perbuatan mereka.
2. Keyakinan dengan
hati.
Tidak ada iman tanpa keyakinan hati. Hal ini berdasarkan kesepakatan para
ulama akan kafirnya kaum munafikin yang mengaku beriman dengan lisan dan amalan
mereka akan tetapi mereka tidak meyakininya dengan hati.
Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafikin, “Kalau
orang-orang munafik datang kepadamu (wahai Muhammad) seraya berkata, “Kami
bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Allah mengetahui bahwa engkau adalah
Rasul-Nya dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu adalah para
pendusta.” (QS.
Al-Munafiqun: 1)
Maka lihatlah bagaimana mereka mengucapkan kedua syahadat langsung di hadapan
Rasulullah, mereka shalat di belakang Rasulullah, mereka menyerahkan langsung
zakat mereka ke tangan Rasulullah dan seterusnya. Akan tetapi semua amalan
besar lagi hebat tersebut tidak berarti di hadapan Allah Ta’ala, bahkan Allah
menetapkan hukum-Nya kepada mereka, “Sesungguhnya orang-orang munafik
berada di lapisan terbawah dari neraka.” Hal itu karena Allah telah
membongkar kebusukan hati mereka dengan firman-Nya, “Di
antara manusia yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,”
padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah).
3. Pengamalan dengan
anggota tubuh.
Ini termasuk permasalahan yang butuh dipahami dengan baik, yaitu amalan
adalah bagian dari definisi iman, bukan penyempurnanya dan bukan pula sekedar
suatu kewajiban dari iman, bahkan dia adalah keimanan itu sendiri. Tidak ada
amalan tanpa iman dan tidak ada juga iman tanpa amalan.
Di antara dalilnya adalah ayat dalam surah An-Nisa` dan hadits Abu Hurairah
riwayat Muslim, yang telah kami sebutkan di atas dan juga ayat dalam surah
Al-Anfal yang akan kami sebutkan.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- juga bersabda kepada rombongan Abdu
Al-Qais, “Saya memerintahkan kalian untuk
beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah
semata? Yaitu persaksian bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain
Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, berpuasa ramadhan dan kalian
menyerahkan seperlima dari ghanimah kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Abbas)
Dalam hadits ini, beliau -shallallahu alaihi wasallam- menafsirkan keimanan
dengan amalan zhahir.
4. Bertambah dengan amalan ketaatan.
Allah
Ta’ala berfirman, “Orang-orang beriman itu hanyalah
mereka yang kalau nama Allah disebut maka hati-hati mereka akan bergetar, dan
kalau ayat-ayatNya dibacakan kepada mereka maka ayat-ayat hal itu akan menambah
keimanan mereka dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka. Yaitu mereka
yang menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian dari apa yang Kami rezekikan
kepada mereka. Merekalah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Anfal: 2-4)
Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati-hati orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah
disamping keimanan mereka yang telah ada.” (QS. Al-Fath: 4)
Maka semua dalil ini menunjukkan dengan tegas akan bertambahnya keimanan dengan
ketaatan, dan hal ini mencakup umum pada semua makhluk Allah yang berbuat
ketaatan.
5. Berkurang dengan mengerjakan maksiat.
Ini
adalah kelaziman dari bertambahnya keimanan, yakni kalau iman bisa bertambah
maka berarti dia juga bisa berkurang, sebagaimana iman bisa masuk maka dia juga
bisa keluar dari seseorang. Karenanya setiap dalil yang menyatakan bahwa iman
bisa bertambah, maka dia juga adalah dalil yang menyatakan bahwa iman bisa
berkurang. Dari sisi, kalau iman seseorang bertambah hari ini -misalnya-, maka
berarti keimanannya yang kemarin itu kurang dibandingkan keimanannya hari ini,
dan ini kami kira adalah suatu hal yang bisa dipahami.
Di antara dalil-dalil khusus yang menunjukkan keimanan bisa berkurang adalah
sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-,“Barangsiapa
di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya dengan
tangannya. Kalau dia tidak sanggup maka dengan lisannya. Kalau dia tidak
sanggup maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya keimanan.” (HR. Muslim dari Abu Said
Al-Khudri)
Hanya saja yang penting diketahui bahwa maksiat sebanyak dan sebesar apapun
-selama bukan kekafiran dan kesyirikan- maka itu hanya akan mengurangi keimanan
seseorang tapi tidak sampai menghilangkan dan menghabiskan keimanannya. Berbeda
halnya dengan sekte Al-Khawarij, yang mengganggap bahwa dosa besar itu
menghabiskan iman atau mengkafirkan pelakunya.
Wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam.
1.PENGARUH IMAN DALAM KEHIDUPAN
Manusia adalah jasad dan ruh. Di dalamnya terdapat berbagai gharizah (instinct)
secara fitrah berupa keperluan-keperluan jasmani. juga memiliki berbagai
keinginan (raghbah) dan naluri berupa kebutuhan-kebutuhan ruhani.
Jadi Islam itu bagaikan bangunan yang kekal, kukuh, kuat dan sempurna. Di
dalamnya terdapat segala macam sebab kehidupan yang ideal, dan segala sarana
kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan di dunia dan berhujung dengan
kebahagiaan di akhirat yang lebih sempurna dan lebih tinggi, yang mana
kebahagiaan tersebut bukan balasan sepadan seperti harga dan barang, kerana
yang terbatas dan dangkal tidaklah menjadi harga bagi sesuatu yang langgeng dan
yang tak terbatas. Akan tetapi ia adalah kurnia/anugerah dari Allah dan
rahmat-Nya bagi siapa saja yang benar imannya kepada Allah, malaikat-Nya, para
rasul-Nya, Hari Kiamat, Hari Akhir, dan takdir-Nya, yang baik mahupun yang buruk.
Mengerjakan setiap rukun dari rukun-rukun ini memberikan buah dan hasil yang
banyak. Pertama bagi peribadi si pelaku dan kedua bagi jamaah (masyarakat),
dengan syarat mengaitkan setiap rukun dengan yang lain. Kerana mendustakan
salah satunya bererti mendustakan seluruhnya.
Manusia diciptakan untuk diuji. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitis mani yang bercampur
yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), kerana itu Kami
jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Dan Allah telah melengkapinya dengan bekal yang memang diperlukan untuk setiap
ujian yang diberikan. Maka Allah menjadikannya berakal, mendengar, melihat,
berupaya bergerak, juga meletakkan padanya keinginan, kemahuan, dan semangat
jasmani mahupun rohani. Allah telah mengutus para rasul bagi tujuan menjelaskan
jalan yang lurus yang harus dilalui agar dapat mencapai hidup bahagia di dunia
dan dapat menghantarkan kepada kenikmatan abadi di akhirat. Para rasul tersebut
juga memperingatkan dari jalan-jalan yang menghantarkan kepada seksa neraka.
Allah berfirman menjelaskan hal tersebut,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku, Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pernberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi
Sangat kukuh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)
Keluar dari ibadah adalah keluar dari jalan yang lurus. Ibadah yang sebenarnya
adalah ibadah yang memenuhi syarat ikhlas dan ittiba’(mengikuti Nabi s.a.w.). Ikhlas
dalam niatnya (kerana Allah) dan ittiba’ dengan konsisten mengikuti
ajaran-ajaran samawi berdasarkan firman Allah s.w.t.,
“...agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya...” (Hud:
7)
Ujian adalah percubaan untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya dengan
mengikuti perintah setepat-tepatnya dan dengan menjauhi larangan
sejauh-jauhnya.
Berdasarkan
huraian ini maka beriman kepada semua rukun adalah merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan, sebahagiannya terkait dengan sebagian yang lain. Pengaruh
masing-masing rukun iman adalah bererti pengaruh rukun iman yang lain. Kerana
itu, dalam realisasinya, satu rukun dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Begitu pula pengaruhnya kepada pribadi dan jamaah, tidak dapat dipisahkan.
Sebab individu adalah batu pertama bagi terbentuknya bangunan masyarakat.
Ajaran-ajaran samawi ditujukan untuk per-orangan, kerana kebaikan mereka adalah
kebaikan jamaah. Adapun buah iman, di antaranya adalah:
a. Sesungguhnya iman kepada Allah itu adalah kehidupan hati, memasak (sebagai
asas) kekuatan kepadanya untuk menaiki tangga kesempurnaan. Ia adalah pendorong
bagi jiwa agar menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik, jauh dari
kehidupan dan hal-hal yang tidak berguna. Sebagaimana Allah berfirman,
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Karni berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah rnasyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah
Kami jadikan orang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
(Al-An’am: 122)
b. Iman itu adalah sumber ketenangan dan kedamaian bagi setiap orang, kerana ia
sejalan dengan fitrah dan seiring dengan tabiatnya. Ia adalah sumber
kebahagiaan bagi masyarakat, kerana ia mengukuhkan ikatan-ikatan masyarakat,
merapatkan tali kekeluargaan dan membersihkan perasaan-perasaan, dan dengan itu
semua masyarakat meningkat menggapai kemuliaan (fadhilah). Dan fadhilah itu
adalah nikmat kerelaan (redha) dalam segala hal, dalam kondisi lapang atau
sempit, mudah atau sulit serta manis atau pahit, kerana beriman kepada qadha’
Allah dan hikmah-Nya. Sebagaimana firman Allah,
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Imam Muslim dengan sanadnya dan Shuhaib meriwayatkan, Rasulullah s.a.w.,
bersabda,
“Sungguh menghairankan urusan orang mukmin itu. Sesungguhnya semua urusannya
adalah baik. Tidaklah hal itu berlaku bagi seseorang kecuali bagi seorang mukmin.
Jika ia mendapat nikmat ia bersyukur maka menjadi baik baginya. Dan jika ia
ditimpa musibah ia bersabar, maka menjadi baik untuknya.” (Hadis Riwayat
4/2295, Ahmad 4/332-333, 6/15-16)
Maka orang mukmin yang menjiwai dan merasakan seperti ini akan tenang hatinya,
selesa badan dan jiwanya. Kehidupannya penuh dengan kebahagiaan, dinaungi oleh
perasaan redha dan damai, serta merasa tenang atas rahmat Allah dan
keadilan-Nya, kerana Dia adalah tumpuan harapannya, benteng perlindungannya,
permata hatinnya dan kenyamanan imannya.
c. Sucinya hati dan kejernihan jiwa. Membawa maksud, iman itu menyucikan jiwa
dari persangkaan-persangkaan, khurafat dan takhayul. Dengan begitu ia akan
jernih dan bersih sesuai fitrahnya, keadaannya akan meningkat dengan karamah yang
ada padanya. Maka setiap rasa tunduk dan khusyu’ di dalamnya untuk menyatukan
arah kepada Penciptanya, Yang memiliki kurnia atas dirinya dan atas seluruh
makhluk, serta menjamin kepentingan mereka semua. Bilamana ia merasakan pada
dirinya keutuhan penciptaan dan tenjaminnya rezeki maka sirnalah (lenyaplah)
ikatan-ikatan takhayul, takut dan harapannya dari makhluk lain, baik para
pembesar manusia mahupun bayangan menakutkan yang diciptakan oleh daya khayal
yang disangka ada pada benda-benda langit (planet dan binatang), pepohonan,
bebatuan dan sejenisnya, atau kuburan dari ahli kubur yang dikeramatkan. Maka
dengan iman itu ia akan bergantung kepada Allah, Tuhan Yang Maha haq, dan akan
berpaling dari yang selain-Nya. Maka bersatulah manusia dalam ketergantungan
(ta’alluq) dan tujuan (hadaf), serta hilanglah dorongan-dorongan untuk bersaing
dan berselisih.
d. Menampakkan kemuliaan (izzah) dan kekebalan (mana’ah). Orang yang beriman
percaya bahwa dunia adalah mazra’atul akhirah (ladang untuk akhirat), seperti
dalam firman Allah,
“Dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan
dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 110)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, nescaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah
pun, nescaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)
Dan ia mengimani bahwa apa yang ditakdirkan luput darinya, tidak akan
mengenainya, dan apa yang ditakdirkan menimpanya pasti mengenainya. Dengan itu,
terhapuslah dari dalam hatinya terhadap perihal kekhuwatiran dari segala macam
rasa takut. Maka dia tidak akan rela kehinaan dan kerendahan untuk dirinya, ia
tidak akan tinggal diam atas kekalahan dan penindasan.
Dari sini kita mengetahui dengan jelas bagaimana tugas-tugas berat dan agung
mampu ditempuh melalui tangan Rasulullah dan juga
tangan-tangan para sahabatnya.
Sesungguhnya kekuatan bumi semuanya tidak mampu menghadang di depan orang yang
hatinya dipenuhi oleh pancaran iman, amalnya didasarkan pada pengawasan Allah
dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan akhirnya. Kita juga memahami
bagaimana para rasul dan para nabi di mana mereka sendirian menghadapi kaum dan
umatnya yang bersatu, mereka tidak mempedulikan jumlah manusia dan kekuatannya.
Dalam Sejarah Nabi Ibrahim dan Hud terdapat sikap yang dapat menjelaskan dan
menampakkan kekuatan iman yang sebenarnya.
e. Berhias dengan akhlak mulia. Sesungguhnya iman seseorang kepada suatu
kehidupan sesudah kehidupan duniawi ini dan di sana akan dibalas segala
perbuatan akan membuat dia merasa bahawa hidupnya mempunyai tujuan dan makna
yang tinggi; suatu perkara yang dapat mendorongnya untuk berbuat baik, berbudi
luhur dan berhias dengan keutamaan, menjauhi kejahatan dan melepas pakaian
kehinaan. Dengan begini akan terwujudlah peribadi yang utama dan masyarakat
yang mulia serta negara yang makmur.
f. Bersemangat, giat serta rajin bekerja. Sesungguhnya orang yang beriman
kepada qadha’ Allah dan qadar-Nya, mengetahui kaitan antara sebab dan akibat,
mengerti nilai amal, kedudukan dan keutamaannya, ia akan mengetahui bahawa di
antara taufik Allah bagi manusia adalah petunjuk-Nya untuk mengupayakan
sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada tujuan. Dan dia tidak akan
berputus-asa apabila ada sesuatu yang tidak dia capai, sebagaimana dia tidak
akan lupa diri dan sombong apabila berhasil meraih keuntungan dunia, sebagai
wujud dan iman kepada firman Allah s.w.t.,
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan din.” (Al-Hadid: 22-23)
Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam.
B.PENGERTIAN IBADAH
DALAM ISLAM
.لِيَعْبُدُونِ وَالإنْسَ إِلا
وَالإنْسَ الْجِنَّ خَلَقْتُ وَمَا
Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S.
Ad dzariyat (51) ayat 56)
A.Definisi Ibadah
Ibadah
secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan
menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna
dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
- Ibadah
adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan
para Rasul-Nya.
- Ibadah
adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk
yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.
- Ibadah
adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah
Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang
bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi
menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan
rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan
tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah
lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad
adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi
macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman
dalam Quran SuratAdz-Dzaariyaat ayat 56-58:
“Artinya : Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku."
"Aku tidak
menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki
Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia
adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan
Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang
membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa
yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah
kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah
mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya
dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang
mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar
Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu
berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’
(harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedang-kan khauf harus
dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini.
Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
- Dia
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya [Al-Maa-idah: 54]
- Adapun
orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah [Al-Baqarah:
165]
- Selalu
bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami
dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’
kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah
dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya
dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan
siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa
yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin
muwahhid.”
C. Syarat
Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak
disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang beramal
tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan
harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya
dua syarat:
[a]. Ikhlas karena Allah semata, bebas
dari syirik besar dan kecil.
[b]. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syarat yang pertama merupakan
konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas
beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat
kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah
atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : (Tidak demikian) bahkan
barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada
mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri)
artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan)
artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama
ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita
tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’at-kan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman.
“Artinya : Maka barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan
janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam ber-ibadah kepada Rabb-nya.”
[Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan
manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah,
Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah
kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib
membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagai-mana cara kita beribadah
kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari
hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa
semua bid’ah itu sesat. [7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa
hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
[1]. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya
semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya
adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka sembahlah Allah dengan
tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
[2]. Sesungguhnya Allah mempunyai hak
dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah
semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang
diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
[3]. Sesungguhnya Allah telah
menyempurnakan agama bagi kita[8] Maka,
orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah
menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai
kekurangan).
[4]. Dan sekiranya boleh bagi setiap
orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap
orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya,
maka yang terjadi di dalam ke-hidupan manusia adalah kekacauan yang tiada
taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi ke-hidupan mereka
disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan
kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya.
Karenanyalah Allah men-ciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan
Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya di-puji dan yang enggan
melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Rabb-mu berfirman,
‘Berdo’alah kepada-Ku, nis-caya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya
orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak
disyari’atkan untuk mem-persempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula
untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu
disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak
dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya
ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat
tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga
bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan
sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah,
fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan
minuman, demi-kian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada
Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada
kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan
subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali
dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak
akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan
beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau
kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah
semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada
kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan
perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan
tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang
hakiki. Maka, barangsiapa yang meng-hendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia
menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli
ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang
dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan
mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia
lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati
melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia
beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling
dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya
ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan
meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda
musibah dan me-ringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit,
semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya
seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat mem-bebaskan dirinya dari
belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas
kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena
ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar
bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam
Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
__________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul
Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid,
dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin
Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. Lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh
‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162),
Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal
bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di
Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar
adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits
‘Aisyah Radhiyallahu anha.
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan
‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaari
C. akhalak
Adalh perbuatan yang telah mendarah
daging, dilakukan atas kemauan sendiri, dengan tulus dan sebenarnya, bukan
berpura-pura. Perbuatan yang telah menjadi kepribadiannya. akhlak sebagai ilmu
menentukan perbuatan baik atau buruk berdasarkan al-Qur’an dan al-sunnah.
Sifat akhlak adalah universal
(umum).
Manfaat mempelajari ilmu akhlak
Berkenaan dengan manfaat
mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut :
Tujuan mempelajari ilmu akhalak dan
permasalahnya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya
sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap
adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar
utang kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang
termasuk perbuatan buruk. 14
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan
tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari
kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih,
bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan. 15
Keterangan tersebut member petunjuk
bahwa Ilmu Akhlak berfungsi memberikan panduan kepada manusia agar mampu
menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa
perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik dan buruk.
Dengan demikian secara ringkas
dapat sikatakan bahwa ilmu akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman dan
penerangan bagi manusia dalam mengetahui pebuatan yang baik atau yang buruk.
Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya, dan terhadao perbuatan
yang buruk ia berusaha untuk menhindarinya.
Benar sekali, memang seperti itulah. Ngomong2 masalah tidak mengandalkan amal, ada pengajiannya bang admin, coba cek di blog ane, semoga manfaat, amiiinnn. Sya tunggu kunjungan baliknya....
BalasHapusDownload Pengajian
mau tanya kalau implikasi khawarij dengan kehdupan beragama itu seperti apa??syukron
BalasHapusApakah Ada tahlilan dalam ajaran rosululoh kalau Ada apa hukumnya Dan apa haditsnya?
BalasHapusmaaf sebelumnya hubungan antara iman ibadah akhlak, kenapa tidak dispesifikkan lagi?,
BalasHapus